Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Minggu, 07 September 2008

Wisata Candi, Bukan Hanya Tumpukan Batu

Views


Oleh Djulianto Susantio

Indonesia pantas mendapat julukan ”Negeri Seribu Candi”. Banyak candi bertebaran di sini, dengan pusatnya di Pulau Jawa. Bukan cuma Candi Borobudur, Candi Prambanan dan beberapa candi besar lainnya, kita juga memiliki banyak candi yang berukuran lebih kecil dan memiliki ciri khas yang berbeda. Candi Muara Takus di Riau, Biaro Bahal di Sumatera Utara, atau Candi Agung di Kalimantan Timur, menunjukkan candi bukan milik Pulau Jawa saja.

Dulu candi dibangun di seantero Nusantara oleh sebuah kerajaan untuk menunjukkan kekuasaannya.Candi adalah sebuah istilah untuk menyebutkan sebuah bangunan yang berasal dari masa klasik sejarah Indonesia, yaitu dari kurun waktu abad ke-5 M hingga ke-16 M. Candi dapat berupa bangunan kuil yang berdiri sendiri atau berkelompok. Dapat pula berupa bangunan berbentuk gapura beratap (Paduraksa) dan tidak beratap (Candi Bentar). Petirtaan yang dilengkapi kolam dan arca pancuran juga kerap disebut candi.

Istilah ”candi” umumnya hanya dikenal di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di daerah-daerah lain seperti Sumatera Utara dikenal istilah ”biaro” dan di Jawa Timur istilah ”cungkub”. Namun, masyarakat lebih mengenal istilah candi, apa pun jenis bangunan kuno—termasuk reruntuhan—dan di mana pun letaknya. Kata ”candi” berasal dari salah satu nama untuk Dewi Durga, isteri Dewa Siwa, sebagai Dewi Maut, yaitu Candika.


Kerajaan Kuno

Candi merupakan peninggalan kerajaan-kerajaan kuno yang pernah ada di Indonesia, seperti Mataram Hindu, Singasari, Majapahit, dan Sriwijaya. Candi Borobudur dan Candi Prambanan (Loro Jonggrang) adalah bukti-bukti kejayaan Kerajaan Mataram dari abad ke-8 hingga ke-11. Candi Singasari, Kidal, dan Jago merupakan sisa-sisa kebesaran Kerajaan Singasari, dari abad ke-11 hingga ke-13. Candi Tikus, Bajangratu, Brahu, dan Wringin Lawang adalah peninggalan Kerajaan Majapahit, dari abad ke-13 hingga ke-15. Candi-candi di sekitar Muara Jambi diduga merupakan sisa-sisa Kerjaaan Sriwijaya dari abad ke-7 hingga ke-11.

Candi-candi di Indonesia umumnya bercirikan agama Budha (terutama aliran Mahayana dan Tantrayana) dan agama Hindu (terutama aliran Siwaisme). Candi bersifat Budha dikenal lewat arca Budha dan bentuk stupa, misalnya Borobudur dan Mendut. Sementara itu, Candi bersifat Hindu mempunyai arca-arca dewa-dewi di dalamnya, misalnya Prambanan dan Dieng. Uniknya, beberapa candi bersifat campuran Siwa-Budha, antara lain Singasari dan Jawi di Jawa Timur.

Menurut sejumlah arkeolog, berdasarkan langgam seninya candi-candi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Pertama, langgam Jawa Tengah Utara. Contohnya Candi Gunungwukir, Badut, Dieng, dan Gedongsongo. Kedua, Langgam Jawa Tengah Selatan misalnya Candi Kalasan, Sari, Borobudur, Mendut, Sewu, Plaosan, dan Prambanan. Ketiga, langgam Jawa Timur, termasuk candi-candi di Bali, Sumatera dan Kalimantan. Contohnya Candi Kidal, Jago, Singasari, Jawi, Panataran, Jabung, Muara Takus dan Gunung Tua.

Ditilik dari corak dan bentuknya, pada dasarnya candi di Jawa Tengah Utara tidak bergeda dari candi-candi Jawa Tengah Selatan. Hanya candi-candi di Jawa Tengah Selatan lebih mewah dan lebih megah dalam bentuk dan hiasan dibandingkan candi-candi Jawa Tengah Utara. Perbedaan yang nyata terdapat pada candi-candi Jawa Tengah dan Jawa Timur.Umumnya candi langgam Jawa Tengah berbentuk tambun, atapnya berundak-undak, menghadap ke Timur, dan berbahan batu andesit.

Sementara itu, candi langgam Jawa Timur berbentuk ramping, atapnya merupakan perpaduan tingkatan menghadap ke barat dan berbahan batu bata.Sejumlah arkeolog berpendapat lain. Mereka menamakan gaya seni candi berdasarkan aspek zaman dan periode, yaitu gaya Mataram Kuno (abad VIII-X), gaya Singasari (abad XII-XIV), dan gaya Majapahit (abad XIII-XV).


Pemugaran

Dari ratusan candi yang pernah ada di Indonesia, kini hanya seratus-dua ratus saja yang sampai pada kita. Selebihnya masih terpendam di dalam tanah karena berbagai faktor penyebab, seperti tertimbun lahar akibat letusan gunung berapi dan gempa bumi. Sementara itu, yang sudah muncul ke permukaan, sebagian ditemukan dalam keadaan berantakan atau tidak utuh lagi, bahkan lebih menyerupai onggokan batu.

Hal ini disebabkan pengrusakan besar-besaran yang dialami oleh tanah tempat candi itu berdiri. Misalnya, gembur dan longsor karena hujan. Ulah manusia juga memperparah keadaan itu. Banyak batu candi (yang berbahan batu andesit) diambil masyarakat sekitar untuk berbagi keperluan, seperti tembok, sumur, pondasi rumah, pagar halaman dan pengganjal tiang. Tragisnya, batu-batu bata merah di kompleks percandian Trowulan, digerusi penduduk untuk dijadikan semen merah. Puluhan candi telah musnah tanpa sempat dibuatkan rekaman tertulisnya.

Sebenarnya, selain batu andesit dan batu merah, beberapa candi mempunyai keunikan. Candi Bendo, misalnya, diminati banyak pakar karena terbuat dari batu kapur yang sangat langka. Sayang candi itu kini cuma tinggal nama karena beberapa tahun lalu telah ditenggelamkan Waduk Wonogiri. Terhadap candi yang amburadul seringkali dilakukan pemugaran. Pemugaran adalah upaya mengembalikan kondisi candi sedapat mungkin ke dalam bentuk aslinya. Pemugaran pun sering menimbulkan pertentangan di antara pakar.

Sebagian menganggap pemugaran yang sesungguhnya hanya menggunakan batu asli. Pemugaran yang lengkap pun hanya boleh dilakukan di atas kertas. Sebagian lagi berpandangan, penggunaan batu palsu atau buatan masa kini baru dibenarkan bila memang batu asli telah musnah. Itupun batu-batunya harus benar-benar dicatat atau ditandai agar tidak timbul kesan manipulasi data. Pemugaran seperti ini biasanya untuk kepentingan pariwisata. Dengan alasan para wisatawan tidak akan tertarik dengan puing-puing berserakan.

Wisata

Banyak candi yang telah dan berpotensi mengundang wisatawan. Contohnya saja Candi Songgoriti yang terletak beberapa kilometer dari Malang. Candi ini terkenal karena air panasnya yang mengandung belerang. Atau, banyak orang yang mendatangi Candi Sukuh di kaki Gunung Lawu adalah sasaran lain wisatawan. Candi ini terkenal karena mitosnya, yaitu menguji kesetiaan seorang isteri. Daya tarik lain adalah arca dan relief yang dianggap erotis.Sayang sebagian besar candi yang bertebaran di seluruh Indonesia berbentuk kecil dan berlokasi di daerah terpencil atau puncak gunung.

Akibatnya, pemugaran belum menjadi prioritas utama. Namanya pun belum dimasukkan ke dalam brosur-brosur pariwisata. Simak saja nama-nama berikut: Candi Ngempon, Ijo, Kepung, Ampelgading, Perot, Dawangsari, dan Pertapaan. Mana ada orang yang mengenal nama-nama ini kecuali kalangan arkeolog. Sebenarnya banyak candi menarik dijelajahi karena bentuknya yang unik atau konsepnya yang filosofis, macam candi-candi di Gunung Penanggunan (Jawa Timur).

Di sana terdapat sekitar 100 candi dan untuk menjangkaunya dibutuhkan waktu paling cepat tujuh hari. Bila jeli, wisata arkeologi, wisata alam, wisata remaja dan wisata petualangan bisa sekaligus terpadu. Bersatunya beberapa jenis wisata bisa membuat orang tidak hanya melihat tumpukan dan serakan batu, atau puing-puing masa lalu, tetapi menghayati makna apa yang terkandung di dalamnya.

Untuk itu pihak berwenang harus membuat brosur yang intinya mengungkapkan latar belakang sejarah candi. Jika sudah ada, tentu orang akan mampu memperoleh segala informasi yang terdapat di dalam batu-batu tersebut. Maka, wisata candi bukan hanya untuk melihat tumpukan batu, tetapi juga untuk melestarikan warisan budaya nenek moyang. ***

Penulis adalah Arkeolog.

(Sinar Harapan, 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dictionary

Kontak Saya

NAMA:
EMAIL:
SUBJEK:
PESAN:
TULIS KODE INI: