Views
Oleh: DJULIANTO SUSANTIO
Dulu, Bumi Nusantara begitu kaya akan hasil bumi dan hasil hutan. Bandar-bandar utama berdiri di mana-mana. Apalagi masyarakat Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar ulung. Mereka sanggup mengarungi lautan lepas hingga mencapai Afrika Timur dan Madagaskar. Menurut catatan sejarah, hubungan dagang internasional pertama kali dilakukan dengan India dan China pada abad V Masehi.
Dunia perdagangan semakin maju sehingga bangsa asing banyak datang ke Indonesia. Sejumlah prasasti dari abad IX, seperti Kuti, Kaladi, dan Palebuhan, menyebutkan bangsa-bangsa asing itu berasal dari cempa (Campa), kling (Keling), haryya (Arya), singha (Sinhala), gola (Benggala), cwalika (Cola), malyala (Malayala), karnnake (Karnataka), reman (Mon), dan kmir (Khmer).
Mereka membeli barang dagangan dari Jawa, antara lain labu, kapuk, kayu gaharu, cempedak, kura-kura, gula, kapulaga, belerang, kain brokat, lada, kemukus, dan garam. Ketika itu, Jawa juga menjadi persinggahan bagi komoditi yang berasal dari luar Jawa, seperti kayu cendana, cengkeh, pala, kapur barus, emas, dan perak (Antoinette M. Barrett Jones, Early Tenth Century Java from the Inscriptions).
Banyaknya komoditi ekspor menggambarkan tanah Indonesia begitu subur. Rakyatnya pun hidup makmur, sebagaimana laporan Berita-berita China. Orang Jawa sudah memiliki rumah besar dan bertembok. Kalau keluar rumah, mereka memakai baju dan perhiasan yang bagus, begitu tulis W.P. Groeneveldt dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya. Compiled from Chinese Sources.
Perahu
Salah satu bukti arkeologi adanya perdagangan Indonesia-China adalah ditemukannya bangkai perahu di Fujian (China). Perahu itu memuat kargo berupa kayu gaharu, kayu cendana, kemenyan, lada, dan pinang sirih. Perahu tersebut diperkirakan berasal dari abad XIII (Lukas Partanda Koestoro, “Hasil Bumi dan Hasil Hutan, Komoditi dalam Sejarah dan Arkeologi Maritim Nusantara”).
Dunia perdagangan bukan hanya digeluti penduduk Jawa. Penduduk Sumatra juga sudah melibatkan diri dalam perdagangan. Produk unggulan mereka adalah kemenyan dan kapur barus. Barang-barang itu dijual kepada pedagang Arab, Persia, dan China.
Ketika bangsa Eropa menguasai lautan, maka dunia perdagangan semakin menonjol. Terlebih ketika pada abad XV bangsa Portugis mulai menjelajahi pantai Barat Afrika untuk menemukan rute menuju “India”. Berlandaskan kegiatan “penjelajahan dan penemuan”, maka Portugis mulai merebut Malaka dan mendirikan benteng di Ternate. Tujuannya adalah untuk memonopoli perdagangan Asia-Eropa.
Komoditi yang berasal dari Nusantara adalah lada, kayu gaharu, rempah-rempah, dan hasil hutan. Barang-barang itu dijual ke Pegu, Benggala, Srilanka, Goa, Siam, Jepang, dan China. Barang-barang dari Nusantara sangat laku di pasaran internasional. Pengelana Portugis, Tome Pires, mengabarkan bahwa satu kuintal lada yang dibeli seharga 4 cruzados di Malaka, bisa dijual di China senilai 15-16 cruzados.
Berkembangnya pelabuhan Malaka memberikan pengaruh besar kepada sejumlah bandar di pesisir Utara Jawa. Dengan demikian menghasilkan pangsa pasar yang lebih luas atas produk cengkeh (dari Maluku), pala (Banda), kayu gaharu (Lombok), dan kayu cendana (Timor).
Bangsa Eropa lain kemudian kepincut kepada kekayaan Nusantara. Belanda dengan VOC-nya dan Inggris dengan EIC-nya mulai mengadakan hubungan dagang. Mereka banyak memerlukan lada dan rempah-rempah untuk menghadapi musim dingin di negerinya.
Menurut kitab Chu-fan-chi dari abad XIII, lada banyak didatangkan dari Sunda dan Tuban. Sedangkan menurut Ying-yai Sheng-lan, lada diperoleh dari Sumatra. Lada banyak pula diperoleh dari wilayah Banten, terutama dari kluster Pamarican (daerah penghasil merica atau lada).
Lada merupakan komoditi yang sangat berharga. Sumber Barat abad XVI, sebagaimana dikutip Lukas, menceritakan bahwa harga lada di China mencapai 400% dari harga belinya di Malaka. Ini sesuai dengan berita Tome Pires tadi.
Kapulaga, merupakan komoditi lain yang diperdagangkan lewat bandar Kalah di Semenanjung Malaya. Komoditi yang paling dianggap luks di Eropa adalah pala. Karena transportasinya yang begitu panjang, maka di Inggris pada saat itu, harga setengah kilogram bunga pala setara dengan nilai tiga ekor biri-biri atau setengah harga lembu.
Komoditi lain yang disukai masyarakat Eropa adalah kemiri, keluwek (pucung), pinang sirih, cengkeh, kayu manis, cassia vera, jahe, kunyit, kayu gaharu, kayu cendana, dan damar, termasuk kemenyan.
Alam Nusantara telah begitu bermurah hati dengan menyediakan berbagai komoditi yang layak ekspor. Ironisnya, keuntungannya lebih banyak dinikmati oleh bangsa Belanda yang ketika itu menguasai sebagian besar wilayah Nusantara.
Sesungguhnya, tak salah kalau orang mengistilahkan negara kita dengan Tanah Air. Selama berabad-abad Kerajaan Majapahit pernah menguasai tanah sebagai negara agraris. Selama berabad-abad pula Kerajaan Sriwijaya menguasai air sebagai negara maritim.
Sayang, kini kedigjayaan kita semakin memudar. Dulu, kita banyak mengekspor. Kini malah banyak mengimpor. Tragisnya lagi, sejak terjadinya krisis berkepanjangan pada 1997, bangsa asing kembali lagi menguasai negeri kita dalam bentuk “penjajahan ekonomi”.
Kita sebenarnya memiliki banyak sumber daya alam, termasuk hasil hutan, tapi kita tak mampu mengelolanya. Ladang emas dan tembaga kita yang membludak, belum lagi ladang minyak dan gas bumi yang melimpah, justru kini digarap bangsa asing. Memang, sejarah akan berulang. Negeri kita pasti berjaya seperti berabad-abad lampau. Namun entah kapan?***
DJULIANTO SUSANTIO
Arkeolog, Tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar