Views
Oleh: DJULIANTO SUSANTIO
Masa lampau Indonesia sangat kaya raya. Ini dibuktikan oleh informasi dari berbagai sumber kuno. Adanya “Negeri Emas” atau Suvarnnabhumi pernah diuraikan kitab Jataka yang berasal dari India. Kitab Jataka dikenal sebagai karya monumental tentang kehidupan Sang Buddha.
Sumber lain yang menyebutkan emas adalah kitab Ramayana yang begitu melegenda. Kitab ini menerangkan lokasi Yawadwipa (Pulau Emas dan Perak) dan Suwarnadwipa (Pulau Emas). Istilah Yawadwipa juga diuraikan dalam kitab Mahaniddedwipa. Sama halnya seperti Ramayana, kitab Bharatayuddha yang juga melegenda menyebut Sumatera sebagai “Pulau Emas”.
Banyaknya emas di Indonesia, tak luput dari perhatian orang-orang Yunani. Kitab Periplous tes Erythras thalasses dari masa awal Masehi, menyebut suatu tempat bernama Chryse yang berarti emas. Negeri ini terletak di sekitar Samudera Hindia yang menurut para pakar tidak lain adalah Indonesia.
Berita lain berasal dari kitab Geographike Hyphegesis karya Ptolomeus. Sungguh menarik kajian dari kitab ini karena di dalamnya disebutkan nama-nama tempat, seperti Argyre Chora (Negeri Perak), Chryse Chora (Negeri Emas), dan Chryse Chersonesos (Semenanjung Emas). Kitab itu juga menyebutkan nama Iabadiou (Pulau Jelai). Dugaan kuat menyatakan istilah Iabadiou identik dengan Yawadwipa dalam bahasa Sansekerta.
Perdagangan
Sebagai negara kaya, waktu itu Indonesia banyak berhubungan dagang dengan India, China, dan banyak negara lain. Peranan Indonesia dinilai amat penting. Terbukti barang-barang Indonesia mendapat tempat di pasaran internasional.
Berita dari dinasti Tang di China (618-906) mengatakan daerah Ho-ling (mungkin kerajaan Kalingga) telah menjalin hubungan dagang dengan China mulai abad ke-5. Barang-barang dari Indonesia yang paling disukai masyarakat China adalah emas, perak, dan kulit penyu.
Sebelumnya, berita dinasti Liang (502-556) mengemukakan para bangsawan Jawa hidup penuh kecukupan. Pakaian mereka dilengkapi ikat pinggang emas, sementara tubuh mereka dipenuhi berbagai aksesori emas. Berita sejenis juga diperoleh dari dinasti Sung (960-1279) dan kitab Ying-yai Sheng-lan (1416). “Semua penduduk pria memakai keris yang disisipkan ke ikat pinggangnya. Keris itu sangat tipis dan dibuat dari besi yang terbaik. Pegangan keris terbuat dari emas, gading, atau cula badak,” demikian berita itu.
Adanya negeri penghasil emas juga pernah dikemukakan seorang musafir China, I-tsing. Emas terbanyak dihasilkan oleh kerajaan Sriwijaya, begitu katanya. Para pakar menafsirkan bahwa emas tersebut diperoleh dari Lang-p’o-lu-ssu (Barus). Selama beberapa abad Sriwijaya sering dijuluki Negeri Emas, Pulau Emas, dan Kota Emas.
Catatan China lainnya menyebutkan kerajaan Koying sebagai penghasil emas dan batu mulia. Koying, katanya, merupakan suatu pelabuhan yang terletak di tepi pantai teluk Wen, menjorok ke arah Bukit Barisan.
Kawasan emas di Sumatera yang terbesar terdapat di Kerajaan Minangkabau. Menurut sumber kuno, dalam kerajaan itu terdapat pegunungan yang tinggi dan mengandung emas. Konon pusat Kerajaan Minangkabau terletak di tengah-tengah galian emas. Emas-emas yang dihasilkan kemudian diekspor dari sejumlah pelabuhan, seperti Kampar, Indragiri, Pariaman, Tikus, Barus, dan Pedir.
Puncak kegemilangan Sumatera sebagai “Negeri Emas” terjadi pada zaman Raja Adityawarman (abad ke-14) yang berpusat di Minangkabau. Di daerah ini banyak dihasilkan lempengan emas, benang emas, lembaran emas tertulis, kalung emas, dan patung berlapis emas. Sebagai penghormatan, kemudian Adityawarman diberi gelar Kanaka-medinindra (Penguasa Negeri Emas).
Pada abad ke-16 kepopuleran Sumatera masih didengar Portugis. Mereka menyebutnya Ilha de Ouro (Pulau Emas). Bahkan Pernao Lopes de Castaneda melaporkan bahwa Kerajaan Minangkabau memiliki banyak sekali tambang emas dan tempat pendulangan emas.
Perdagangan dilakukan dengan Raja Padir dan Raja Pasai. Karena terkenal dengan emas, banyak pihak menganggap Minangkabau sebagai “suatu kawasan yang diberkahi oleh Tuhan untuk memiliki emas yang terbaik”. Hasil produksi emas di Minangkabau mencapai lebih dari dua bahar setahun. Henrique Dias mengatakan setiap tahun Kerajaan Minangkabau mengekspor 12-15 kuintal emas ke Malaka.
Bengkulu dan Rejang juga kaya akan emas. Di sini pertambangan emas dikuasai Raja Pagarruyung. Demikian informasi sumber kuno lainnya.
Dokumen Arab dan Portugis
Kekayaan emas Indonesia banyak terdengar ke mana-mana. Dokumen Arab mengatakan kalau kerajaan Zabag (Muara Sabak) dan Zarbosa menguasai pertambangan emas dan perak. Diberitakan pula, Pulau Nias kaya akan emas sehingga para pedagang Portugis berusaha mencari emas di pulau itu. Kalah dan Sribuza, selain kaya tambang emas, juga penghasil timah terbesar.
Gambaran lain diberikan oleh sumber Portugis, terutama catatan Tome Pires. Konon Barus, Padir, Tikim, Indragiri, Pariaman, dan Kampar merupakan pelabuhan ekspor emas ke Portugis. Ditambahkan oleh sumber itu, Pulau Sumatera sangat kaya akan emas sehingga orang China menjulukinya Kintcheou (Pulau Emas).
Kidung Sorandaka dan Sundayana secara fantastis mengisahkan bagaimana Raja Daha mengenakan pakaian dan perhiasan emas. Perlengkapan perang sang raja juga banyak dihiasi emas. Namun kredibilitas karya sastra masih dianggap kurang meyakinkan, sehingga jarang dipakai sebagai sumber sejarah kuno.
Tapi Prasasti Kudadu (abad ke-13) memberi petunjuk kuat bahwa masyarakat kala itu sudah memiliki kemampuan ekonomi cukup baik. Mereka sanggup menyampaikan persembahan kepada raja dan para pejabat kerajaan berupa emas.
Perhiasan-perhiasan emas yang dipakai dibuat oleh pande emas. Sebutan pande emas antara lain terdapat pada Prasasti Kudadu, Jayanegara I, Tuhanaru, Biluluk IV, dan kitab Nagarakretagama.
Emas mempunyai berbagai nilai, seperti sosial, keagamaan, dan ekonomi. Emas banyak dihasilkan untuk pelengkap upacara, bekal kubur, dan perdagangan.
Dari berbagai sumber kuno sebenarnya jelas tergambar bahwa tambang emas ada di mana-mana. Ekspor emas ke mancanegara begitu banyak, sehingga negeri kita mendapat julukan Negeri Emas, Pulau Emas, atau Kota Emas. Sayang, julukan demikian makin hari makin meredup. Ini disebabkan emasnya juga makin hilang, sehingga tak ada lagi kemakmuran yang bisa dinikmati masyarakatnya. Malah sekarang tambang-tambang emas Indonesia dikuasai pihak asing, sehingga julukan yang pantas untuk negeri kita sekarang adalah “Negeri Emas yang Memudar”.***
DJULIANTO SUSANTIO
Arkeolog, Tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar