Views
Oleh DJULIANTO SUSANTIO
Selama puluhan tahun mumi Tutankhamun di Mesir meninggalkan misteri yang sulit terpecahkan. Sejak ditemukannya oleh arkeolog Inggris Howard Carter pada 1920, berbagai pendapat tentang sebab-sebab kematian raja muda Mesir itu banyak dilontarkan para pakar. Ada yang menafsirkan, Tutankhamun mati dibunuh. Ada pula yang mengatakan, dia mati karena sakit, bahkan diracun.
Kalau dibunuh, bagaimana caranya? Apakah dengan dipukul kepalanya? Seandainya dia sakit, apa nama penyakitnya? Pendapat-pendapat tadi yang berupa penafsiran tentu saja masih belum memiliki kebenaran mutlak. Artinya, masih perlu dikaji lebih dalam dengan berbagai alat bantu penelitian lain. Apalagi arkeologi bersifat interdisipliner.
Menurut sumber tertulis yang ditemukan di komplek makamnya, termasuk lukisan-lukisan dinding, Tutankhamun meninggal pada usia belasan tahun. “Mana ada sih anak muda yang meningggal karena penyakit kronis, paling-paling karena perang,” begitu pendapat pakar yang lain.
Tafsiran akan kematian Tutankhamun pada awalnya hanya berpegangan pada pemikiran secara tradisional. Terutama berdasarkan penelitian luar atau melihat permukaan. Para pakar belum melakukan penelitian forensik atau otopsi terhadap mumi karena memang waktu itu teknologinya belum ada.
Teknologi modern
Namun berkat perkembangan teknologi modern, teori kematian Tutankhamun yang masih misterius itu kemudian berubah. Dengan bantuan alat-alat canggih, seperti CT-scan, sinar X, komputer tiga dimensi, dan peralatan endoskopi, tahun 2005 lalu para pakar berhasil menyimpulkan bahwa Tutankhamun mati karena penyakit infeksi.
Semula memang agak sulit menafsirkan kematian raja muda Mesir itu. Terlebih karena ada tulang dada dan tulang rusuknya yang patah. Diperkirakan, tulang-tulang itu patah karena kecerobohan para penemu dan peneliti pertama. Namun dalam sebuah dokumen tertulis yang ditinggalkan arkeolog Howard Carter, diketahui bahwa mereka tidak sedikit pun mengutak-atik mumi tersebut.
Dengan demikian kesimpulan beralih kepada anggapan bahwa patahan tulang tersebut sengaja dilakukan oleh para pembalsem mayat atau patah karena berbenturan dengan tanah sewaktu Tutankhamun terjatuh.
Kesimpulan bahwa Tutankhamun mati karena penyakit infeksi dinyatakan atas dasar beberapa pertimbangan. Pertama, pada batok kepala Tutankhamun tidak ditemukan retakan, tanda-tanda bekas pukulan. Batok kepalanya pun relatif normal, sehingga teori yang mengatakan Tutankhamun mati dipukul atau diracun diragukan orang.
Kedua, terlihat sedikit retakan pada tempurung lutut kiri Tutankhamun. Ciri-ciri orang menahan kesakitan berupa gumpalan darah pun terdapat pada bagian kaki. Karena adanya luka itu, kaki kiri Tutankhamun lebih pendek daripada kaki kanannya.
Perbedaan tersebut nyata sekali terlihat oleh para peneliti pada layar komputer tiga dimensi.
Kesimpulan demikian tampaknya sudah final dan diterima oleh berbagai kalangan, meskipun belum diketahui pasti apakah dia terjatuh ketika menunggang kuda, terpeleset di istananya, atau tersandung di medan perang, misalnya. Semua kegelapan itu diketahui berkat kerja keras para pakar paleopatologi (penyakit purba), kedokteran forensik, radiologi, komputer, dan banyak lagi.
Sejak ditemukan pada 1920, baru pada 2005 para pakar berhasil menguak misteri mumi Tutankhamun. Cukup lama waktu yang dibutuhkan para pakar untuk menjawab keingintahuan masyarakat terhadap kematian misterius itu. Memang masuk akal karena teknologi tidak datang sendiri, melainkan harus ditemukan atau diciptakan berdasarkan hasil yang ingin dicapai.
Berkat teknologi modern pula wajah Tutankhamun berhasil direkonstruksi (reka ulang) secara akurat. Para pakar melakukannya di dua tempat sekaligus, yakni Prancis dan AS. Hasil olah seni secara ilmiah yang dilakukan pakar-pakar di dua negara itu ternyata mirip sekali. Tutankhamun tentunya semakin melegenda berkat ketampanan wajahnya itu. Bukan hanya dari topengnya yang begitu fantastik, tetapi sekarang dari gambar yang sesungguh-sungguhnya.
Arkeolog Inggris Howard Carter memang yang menemukan makam kuno Tutankhamun di Mesir. Namun Carter dan berbagai arkeolog lainnya tidak mampu membuat kesimpulan secara maksimal karena ketiadaan teknologi. Persoalan pun baru terjawab puluhan tahun kemudian.
Di seluruh dunia, termasuk Indonesia, memang banyak sekali persoalan arkeologi yang belum mampu diungkapkan sekarang. Mudah-mudahan seperti halnya menguak misteri mumi, para arkeolog mampu memperkaya khasanah kepurbakalaan lainnya.***
DJULIANTO SUSANTIO
Arkeolog, Tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar