Views
Oleh DJULIANTO SUSANTIO
Tentu tidaklah mengada-ada apabila Denny Kailimang menulis opini perlunya pembersihan aparat pajak (“Penegakan Hukum Kehilangan Momentum”, Kompas, 18/11/2005). Tersirat dalam tulisan itu bahwa ada oknum-oknum aparat pajak yang melakukan praktek-praktek ilegal. Karena itu, menurut Denny, mestinya penegak hukum menempuh langkah nyata guna mengambil tindakan atas petugas pajak.
Dia pun menyarankan agar penegak hukum memeriksa seluruh rekening petugas pajak hingga Dirjen Pajak. Apakah rekening mereka itu di luar batas kewajaran atau tidak. Penindakan atas petugas pajak pada gilirannya akan membuat pemerintah mudah mengajak rakyat taat pajak. Sebab, katanya, bukan lagi rahasia umum kalau banyak wajib pajak bermain mata dengan petugas pajak.
Berbagai pemerasan dan pemalakan oleh aparat pajak sebenarnya sudah terjadi sejak lama di berbagai wilayah. Dari berbagai pemberitaan media cetak, misalnya, kita tahu kalau seorang pengusaha Korea pernah diperas oleh aparat pajak sebesar Rp 1,2 milyar. Padahal tahun sebelumnya dia hanya membayar pajak Rp 300 juta. Namun dia masih bisa bernegosiasi dengan si aparat, asalkan memberikan “upeti”.
Berbagai surat pembaca juga banyak menyiratkan sisi-sisi negatif aparat pajak. Seseorang pernah menulis kalau banyak aparat pajak yang baru bekerja beberapa tahun saja sudah mampu membeli rumah sendiri. Sedangkan dia yang sudah mengabdi kepada negara lebih dari 20 tahun, hanya mampu tinggal di rumah kontrakan.
Tentu merupakan sebuah prestasi hebat seorang pegawai negeri yang notabene adalah abdi negara. Berapa besar sih gaji seorang pegawai negeri? Tidak heran bila Gus Dur sewaktu menjabat Presiden pernah mengusulkan adanya pembuktian terbalik terhadap aparat pajak dan abdi-abdi negara lainnya.
Kebocoran
Berbagai upaya penegakan hukum terhadap aparat pajak sering mendapat cemoohan publik. Apalagi ketika dua ekonom, Kwik Kian Gie dan Faisal Basri, menyinggung soal kebocoran pajak yang demikian besar pada April 2005 lalu. Dirjen Pajak pun seperti “kebakaran jenggot”. Padahal menurut banyak pihak, upaya tadi adalah untuk memperbaiki kinerja aparat pajak yang selama ini citranya sudah sangat buruk di masyarakat. Dirjen Pajak sendiri justru pernah mengatakan kalau potensi pajak yang masuk ke kas negara masih kecil, yakni sekitar 30 persen (Sinar Harapan, 9/4/2005).
Baru-baru ini seorang rekan yang memiliki toko eceran pernah diperas oleh aparat pajak. Dengan dalih untuk mendata verifikasi usaha, si aparat berbasa-basi soal omset harian, bon pembelian, bon penjualan, dan lain-lain. Sebagai toko kecil tentu saja rekan tadi tidak memiliki bon penjualan seperti retail-retail waralaba, misalnya.
Buntut-buntutnya, si aparat bisa “membantu” asalkan dia menyediakan Rp 50 juta. Setelah tawar-menawar akhirnya disepakati hanya Rp 16 juta, dengan rincian Rp 1 juta untuk honorarium konsultan pajak, Rp 6 juta masuk ke kas negara, dan sisanya Rp 9 juta sebagai “uang saku” aparat pajak.
Memang dalam hal ini negara tidak dirugikan. Yang menjadi masalah adalah mengapa harus terjadi pemerasan terselubung yang umumnya dialami oleh etnis-etnis tertentu. Untuk itu kiranya perlu dicari model perolehan pajak lain agar si wajib pajak tidak merasa diperas.
Sebenarnya masalah penyimpangan dan manipulasi pajak, merupakan “gejala biasa” di Indonesia sejak abad ke-9. Berita-berita tersebut sering termuat dalam “media-media cetak” zaman dulu yang disebut prasasti, sebagaimana diungkapkan ahli epigrafi M. Boechari dalam berbagai makalahnya.
Protes
Zaman dulu, masalah yang sering dijumpai adalah manipulasi pengukuran oleh petugas pajak. Seorang petani, misalnya, pernah protes kepada petugas pajak terhadap perhitungan luas tanah yang dimilikinya. Menurut si petugas, luas tanahnya adalah 40 ½ tampah (ukuran tanah pada masa itu). Karena setiap tampah dikenakan pajak 6 dharana, si petani harus membayar 40 ½ tampah x 6 dharana = 243 dharana. Namun setelah diukur ulang oleh petugas pajak kedua, luas tanah si petani cuma 27 tampah (Prasasti Luitan, 901 Masehi).
Rupanya tampah yang digunakan petugas pajak pertama berukuran lebih kecil, kira-kira 2/3 daripada ukuran yang sesungguhnya. Otomatis saja luas tanahnya membengkak. Sedangkan tampah yang digunakan petugas kedua, benar-benar berukuran asli. Karena kejelian si petani, maka dia berhasil menyelamatkan hartanya dari kecurangan si aparat pajak sebesar 13 ½ tampah x 6 dharana = 81 dharana. Ini membuktikan, zaman dulu pun ada petugas pajak nakal dan petugas pajak jujur.
Kejadian serupa juga teridentifikasi dari Prasasti Palepangan (906 M). Manipulasi pengukuran dengan tampah yang lebih kecil oleh aparat pajak, menyebabkan si rama harus protes keras kepada pihak berwenang.
Setelah diperiksa ulang, akhirnya protes si rama pun dikabulkan. Kalau tidak teliti si rama akan kena kemplang petugas pajak sebesar 12 ½ tampah x 6 dharana = 75 dharana. Sebab, menurut si petugas pajak luas sawahnya 40 tampah, sedangkan dari hasil pengukuran si rama hanya 27 ½ tampah.
Petugas pajak juga sering meminta pembayaran lebih dari semestinya, sebagaimana diungkapkan Prasasti Taji (901 M). Konon suatu hari nayaka Rakryan Jasun Wungkal mengadu kepada raja. Sebagai seorang pejabat desa dia ternyata tidak pernah menerima drawya haji (pajak) dari daerah kekuasaannya. Dia pun menuduh bawahannya, sang awaju ri Manayuti, tidak tertib menerima pajak. Setelah diselidiki ternyata diketahui uang tersebut sering dipakai sang awaju untuk menraktir para panurang (petugas pajak) yang minta lebih. Pantas saja tidak masuk kas desa (Lihat lebih jauh: Djulianto Susantio, Kasus Pajak, Bacaan Seorang Arkeolog, Sinar Harapan, 28 April 2005).
Orang bijak, taat pajak. Orang jahat, menunggak pajak. Orang keparat, petugas pajak. Demikianlah anekdot pada sebagian besar masyarakat tentang begitu lemahnya pengawasan pajak.
Ulah nakal petugas pajak telah berlangsung selama berabad-abad. Ironisnya, pemerasan dan pemalakan yang dilakukan oleh bawahan diketahui atasan. Justru atasan sering meminta atau mendapat upeti dari bawahannya itu. Karena gerakan tutup mulut, tidak adanya hitam di atas putih, dan sistem bagi hasil menyebabkan kebrutalan petugas pajak sulit dibuktikan.
Kantor pajak pun seperti “tukang peras” saja. Belakangan ini dibentuk Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak. Tugas utama kantor tersebut adalah memeriksa wajib pajak besar dan kecil. Tanpa pengecualian wajib pajak dipanggil oleh kantor tersebut untuk pemeriksaan pajak tahun 2002 dan 2003.
Dari hasil pemeriksaan, wajib pajak disuruh membayar pajak tambahan yang nilainya besar sekali. Seseorang yang terkena pajak hanya Rp 20.000, pernah diminta tambah bayar Rp 50 juta. Ini belum termasuk upeti untuk petugas pajak. Jika wajib pajak tidak setuju maka akan dipidanakan (Suara Pembaruan, 6/6/2005).
Inilah ironi di negara terkorup di Asia. Semoga di lain waktu penegakan hukum terhadap aparat pajak semakin ditingkatkan.***
DJULIANTO SUSANTIO
Arkeolog, Tinggal di Jakarta
Arkeolog, Tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar