Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Selasa, 09 Desember 2008

Letusan Merapi dalam Catatan Sejarah

Views


Oleh DJULIANTO SUSANTIO


Letusan gunung api merupakan fenomena biasa di Indonesia, tak ubahnya bencana alam seperti halnya gempa bumi, banjir, atau tanah longsor. Saat ini di Indonesia masih terdapat sejumlah gunung api aktif. Yang dinilai paling aktif adalah gunung Merapi.

Sepanjang sejarahnya, diperkirakan Merapi telah meletus lebih dari 100 kali. Entah sejak kapan Merapi mulai meletus. Namun setelah dikenalnya tradisi tulisan di Indonesia pada abad ke-5, baru pada abad ke-9 ada informasi penting tentang letusan Merapi yang begitu hebat. Sebelumnya, para pakar hanya menduga-duga saja berdasarkan sedimen (lapisan tanah) yang ditimbulkannya.

Ketika itu, kira-kira sebelas abad yang lampau, di Jawa berdiri sebuah kerajaan besar, Mataram (Hindu). Karena pemerintahan Raja Rakai Sumba Dyah Wawa berakhir dengan tiba-tiba, maka para pakar menghubungkannya dengan letusan Merapi. Menurut R.W. van Bemmelen dalam bukunya The Geology of Indonesia (1949), letusan itu demikian dahsyat dan mengakibatkan sebagian besar puncak Merapi lenyap.

Bahkan terjadi pergeseran lapisan tanah ke arah Barat Daya sehingga terjadi lipatan yang antara lain membentuk Gunung Gendol. Letusan tersebut juga disertai gempa bumi, banjir lahar, serta hujan abu dan batu-batuan yang sangat mengerikan (Sejarah Nasional Indonesia II, 1985, hal. 155).

Bencana alam ini, sebagaimana disebutkan oleh Boechari—seorang arkeolog yang mendalami bidang epigrafi—mungkin merusak ibukota Medang dan banyak daerah permukiman di Jawa Tengah. Oleh rakyat, bencana ini disebut pralaya atau kehancuran dunia. Diperkirakan bencana hebat itu melanda Mataram pada abad ke-9 hingga ke-10.

Secara tersirat prasasti Rukam (829 Saka atau 907 Masehi) menyebutkan peresmian desa Rukam oleh Nini Haji Rakryan Sanjiwana karena desa tersebut telah dilanda bencana letusan gunung api. Kemungkinan besar, gunung api yang dimaksud adalah Merapi. Hal ini mengingat prasasti Rukam ditemukan di daerah Temanggung, Jawa Tengah.

Letusan yang hebat konon kembali terjadi pada 1672. Naskah klasik Babad Tanah Jawi mengatakan demikian, “Kala itu berbarengan dengan meletusnya Merapi, suaranya menggelegar menakutkan. Batu-batu besar beradu beterbangan bercampur api. Jika diamati seperti hujan batu. Lahar mengalir kencang di sungai. Banyak desa terkubur dan hancur. Banyak orang desa meninggal, rakyat Mataram ketakutan kena terjang lahar panas dan hujan abu” (Bambang Soelist, 2002).

Dikabarkan, akibat letusan itu langit di atas kerajaan Mataram (Islam) gelap gulita selama 24 jam. Peristiwa tersebut terjadi pada 4 Agustus 1672, ketika kapal “Marken” milik Belanda sedang berlayar di Samudra Indonesia, di sebelah Selatan Kedu. Letusan Merapi memakan korban 3.000 orang, belum termasuk sawah ladang dan harta benda lainnya.


Misteri

Ironisnya, meskipun Merapi sering murka, wilayah sekitarnya masih saja dihuni warga. Mereka percaya, Merapi bukan ancaman, tetapi memberikan penghidupan yang baik kepada masyarakat.

Seperti halnya konsep kuno, Merapi juga diyakini sebagai tempat tinggal roh leluhur. Gunung itu sakral dan patut dihormati. Konsep tersebut sebenarnya sudah ada sejak zaman prasejarah, terutama lewat tinggalan punden berundak.

Setelah datang pengaruh Hindu, maka gunung dipandang sebagai tempat tinggal para dewa. Ketika gunung meletus, mereka berpendapat “para dewa sedang murka”. Dan agar tidak murka lagi, mereka memberikan sesajian.

Di India, tempat asal agama Hindu, gunung yang dianggap suci adalah Gunung Kailasa. Dipercaya, Siwa sebagai Parwata (Dewa Gunung) tinggal bersama isterinya, Parwati (Putri Gunung) bersama dewa-dewa lain, seperti Indra (Dewa Perang) dan Agni (Dewa Api).

Gunung lain yang dianggap suci adalah Mahameru. Gunung ini, menurut mitologi, pernah dipindahkan ke Jawa dan menjadi ceceran gunung-gunung kecil seperti Semeru, Merapi, Penanggungan, dan lain-lain.

Sering pula dipercaya, jika gunung menimbulkan suara gemuruh pertanda “para raksasa jahat sedang membuat keonaran”. Bagaimana mengalahkan para raksasa jahat itu tentu merupakan persoalan logika ilmiah masyarakat masa sekarang. Konsep “siapa” yang menyebabkan gunung meletus, bukannya “apa” yang menyebabkan gunung meletus, bertahan hingga ratusan tahun lamanya.

Legenda dan mitologi Eyang Merapi bersama istrinya, Nyi Loro Kidul masih kental pula hingga sekarang. Karena kearifan masa lampau, maka banyak warga enggan mengungsi jauh-jauh dari wilayah Merapi. Penguasa gunung dan laut itu dipercaya masih memberikan kesuburan kepada tanah-tanah di sekitarnya.


Candi

Di Indonesia pendirian bangunan suci atau candi tak lepas dari konsep masa lampau itu. Jika diamati, banyak sekali candi didirikan di sekitar gunung, bukit, atau tempat ketinggian.

Seberapa dahsyatnya bencana Merapi dulu kala, antara lain terekam dari jejak penemuan Candi Sambisari (abad ke-8). Candi yang terletak beberapa kilometer dari Candi Prambanan itu, ditemukan pada kedalaman sekitar tujuh meter. Karena bentuknya masih relatif utuh, tentulah orang menafsirkan bukanlah akibat gempa bumi yang menimbunnya, tetapi material gunung api yang menutupinya.

Dari hasil penelitian diketahui material tersebut berasal dari bahan-bahan vulkanik. Dengan demikian jelas letusan Merapi begitu kuat. Apalagi kalau dicermati, lokasi Candi Sambisari berada dalam radius belasan kilometer dari Merapi. Selain Sambisari, candi-candi lain yang pernah menjadi korban Merapi adalah Kajangkoso, Asu, Pendem, Gebang, Morangan, Kedulan, Purwomartani, dan Pacitan.

Banyak benda arkeologis juga pernah ditemukan dari sekitar Merapi. Tak dimungkiri, berkali-kali letusan Merapi telah mengubur kota-kota kuno di sekitarnya. Sayang, sampai kini para arkeolog belum pernah menemukan kota-kota kuno itu.

Sekalipun bagi masyarakat sekitar letusan Merapi merupakan bencana, namun bagi arkeolog yang hidup pada masa kemudian, letusan tersebut merupakan “berkah”. Banyaknya penemuan artefak kuno dari situs Merapi, akan semakin membuka cakrawala ilmu pengetahuan kita karena dapat menjadi model untuk penelitian selanjutnya.

Hanya yang menjadi kendala adalah banyak situs sudah tertutup lahan permukiman, perkebunan, dan persawahan penduduk. Karena itu penelitian situs perkotaan membutuhkan pembiayaan dan waktu sangat besar. Ini karena untuk menemukan situs perkotaan, arkeolog harus melakukan ekskavasi secara horisontal dan bersifat masal. Mudah-mudahan, kasus bencana alam yang sering terjadi di Indonesia menjadi bahan pelajaran berharga buat para peneliti.***

DJULIANTO SUSANTIO
Arkeolog, Tinggal di Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dictionary

Kontak Saya

NAMA:
EMAIL:
SUBJEK:
PESAN:
TULIS KODE INI: