Views
Oleh DJULIANTO SUSANTIO
Nama Fatahillah agaknya sudah terlanjur melegenda. Nama ini banyak dipakai sebagai nama diri, nama bangunan, dan nama lembaga pendidikan. Tidak hanya di Jakarta, penggunaan nama Fatahillah juga populer di Banten dan Cirebon.
Demikian pula nama yang dianggap aliasnya, yakni Faletehan. Selain nama diri, nama Faletehan banyak digunakan sebagai nama jalan, nama lembaga pendidikan, bahkan nama perusahaan.
Siapakah tokoh Fatahillah itu sehingga banyak diabadikan orang di Jakarta, Banten, dan Cirebon? Meskipun sebagian pakar menganggapnya sebagai tokoh mitos atau legenda, sebagian lagi pakar justru memandangnya sebagai tokoh sejarah. Hingga kini Fatahillah masih dianggap sebagai tokoh pendiri kota Jakarta.
Uniknya, menurut penelusuran sejarawan Edi S. Ekadjati (1989), nama Fatahillah sama sekali tidak didapatkan dalam babad atau sumber tradisi. Nama tersebut justru terdapat dalam jenis sumber modern, yakni buku Geschiedenis van Java (Sejarah Jawa, pen.) karya Ny. Fruin-Mees (1920).
Orang pertama yang menampilkan Fatahillah sebagai nama tokoh sejarah adalah Dr. B. Schrieke. Dia mengaitkan tokoh tersebut dengan sejarah kota Jakarta pada masa awal Islamisasi. Dasar penafsiran Schrieke adalah catatan orang Portugis (1546) tentang Raja Sunda yang bernama Tagaril. Menurutnya, Tagaril merupakan salah tulis dari kata Fagaril. Kata Fagaril sendiri merupakan perubahan dari kata aslinya, yaitu Fatahillah (= kemenangan Allah).
Pendapat Schrieke itu kemudian dibantah oleh Prof. Hoesein Djajadiningrat. Dia lebih condong menganggap kata Tagaril tak ubahnya Fachrillah, bentuk sampingan dari Fachrullah (= kemashuran Allah). Karena Fachrillah dapat disingkat menjadi Fachril—mungkin orang Portugis salah dengar atau salah tulis—maka muncullah nama Tagaril.
Sedangkan Sajarah Banten menyimpulkan bahwa tokoh Tagaril itu identik dengan tokoh Faletehan atau Falatehan sebagaimana yang disebut Berita Portugis lain (1527). Bahkan tokoh itu dianggap identik pula dengan Sunan Gunung Jati yang disebut dalam babad.
Kitab kuno
Adapun kata Faletehan atau Falatehan, menurut Djajadiningrat, mungkin salah dengar atau salah tulis dari kata Fathan, lengkapnya fathan mubinan (= kemenangan yang sempurna). Tokoh ini berperan dalam merebut Sunda Kalapa dari tangan Kerajaan Sunda. Sebagai kesimpulan akhir, menurut Djajadiningrat, nama-nama Faletehan, Fatahillah, Tagaril, dan juga Makdum, Syarif Hidayat(ullah), serta Sunan Gunung Jati adalah tokoh yang identik. “Namanya memang bermacam-macam, tetapi orangnya hanya satu,” begitu katanya (Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, 1983).
Tetapi kemudian banyak sejarawan, arkeolog, dan filolog menentang teori Djajadiningrat itu. Antara lain Dr. Ekadjati yang dalam salah satu tulisannya mengatakan Makdum berbeda dengan Sunan Gunung Jati. “Makdum berasal dari Pasai, sedangkan Sunan Gunung Jati berasal dari Arab. Hanya kedudukan dan peranan keduanya sama, yakni sebagai penyebar Islam,” tulisnya (1989, hal. 4).
Ketika pada 1972 ditemukan sebuah naskah kuno di Indramayu, maka pandangan tentang tokoh Fatahillah mulai berubah. Kitab kuno itu, Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada 1720, oleh Pangeran Arya Carebon. Namun yang menjadi masalah, masa penulisan kitab itu adalah 200 tahun setelah masa hidup Fatahillah. Kitab itu pun masih diragukan keasliannya oleh banyak pihak karena banyaknya kekeliruan penulisan.
Sementara itu, dalam Babad Cerbon dikatakan dari garis ayah (Sultan Bani Israil), Sunan Gunung Jati berasal dari tanah Arab, sementara dari garis ibu merupakan keturunan Raja Sunda-Pajajaran. Setelah menuntut ilmu di tanah Arab, dia bermukim di Cirebon. Selanjutnya dia menyebarkan agama Islam di Cirebon dan Banten.
Di pihak lain, Sajarah Banten menyebutkan tokoh Sunan Gunung Jati sebagai seorang yang keramat. Dia datang dari tanah Arab. Ayahnya berasal dari Yamani, sementara ibunya dari Bani Israil. Raja Cirebon saat itu bernama Makdum, berasal dari Pasai (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III dan berbagai buku karangan H.J. de Graaf).
Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, tokoh dari Pasai itu bernama Fadhillah Khan, diidentifikasi sebagai Fatahillah. Dia lahir pada 1490. Sementara tokoh Sunan Gunung Jati, nama lain dari Syarif Hidayat, lahir pada 1448 di Mekah dan tiba di Cirebon sekitar 1470. Dengan demikian Fatahillah dan Sunan Gunung Jati merupakan dua tokoh yang berbeda.
Kontroversial
Meskipun kontroversial, pandangan Djajadiningrat tadi mempunyai pengaruh yang amat luas di kalangan sejarawan. Hampir semua kepustakaan yang ada mengenai sejarah Indonesia hingga 1970-an, khususnya sejarah Jakarta, Banten, dan Cirebon, masih menganggap tokoh Fatahillah identik dengan Sunan Gunung Jati.
Pandangan kontroversial juga pernah mengemuka tahun 1968, sebelum ditemukannya kitab Carita Purwaka Caruban Nagari. Adalah seorang filolog, Prof. Slamet Muljana, yang membahasnya dalam sebuah buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (diterbitkan ulang LKiS, 2005). Dia menafsirkan bahwa Fatahillah adalah seorang muslim China yang sebelumnya bernama Toh A Bo alias Pangeran Timur. Pendapatnya itu didasarkan pada data kronik Tionghoa yang berasal dari kelenteng Semarang dan kelenteng Talang (Cirebon).
Menurut Muljana, semula Syarif Hidayat Fatahillah adalah panglima tentara Demak. Tokoh ini identik dengan Sunan Gunung Jati. Toh A Bo adalah putra Sultan Trenggana, Tung Ka Lo. “Fatahillah adalah orang kelahiran Demak dan berasal dari bangsawan tinggi, yakni putra Sultan Demak,” demikian Muljana (hal. 232).
Nama Fatahillah kemudian dipakai oleh Toh A Bo ketika dia dinobatkan sebagai Sultan Banten. “Tidak dapat dikatakan dengan pasti kapan Fatahillah menjadi sultan. Yang pasti pada 1552 dia meninggalkan Banten dan menetap di Cirebon serta mendirikan kesultanan Cirebon. Kesultanan Banten dia serahkan kepada putranya, Hasanuddin. Pada 1570 Fatahillah wafat dan dimakamkan di Sembung, Bukit Gunung Jati,” begitu tafsiran Muljana.
Banyak pakar sampai kini masih menyangsikan tokoh Fatahillah, Faletehan, dan Syarif Hidayat. Benarkah dia seorang tokoh sejarah sekaligus pendiri kota Jakarta dan mengacu pada satu nama yang sama, benarkah dia hanya seorang tokoh fiktif, benarkah dia seorang muslim China, dan berbagai pertanyaan lain masih sulit dijawab kebenarannya.
Identifikasi tokoh Fatahillah memang merupakan perdebatan akademis yang belum mencapai titik temu hingga kini. Hal itu menjadi rumit karena sumber-sumber yang tersedia masih terbatas. Tetapi kita sudah terlanjur memandangnya sebagai sosok pahlawan, sekaligus pendiri kota Jakarta. Bisakah ini disebut rekayasa sejarah?***
DJULIANTO SUSANTIO
Arkeolog, Tinggal di Jakarta
SAVE CERBON
BalasHapus