Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Jumat, 20 Maret 2009

Candi Borobudur Amblas, Candi Prambanan Melapuk

Views


Oleh: Djulianto Susantio

JAKARTA - Dua peninggalan arkeologis kebanggaan bangsa Indonesia yang paling mendapat perhatian wisatawan adalah Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Setiap tahun kedua candi itu banyak didatangi wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara.

Namun membludaknya pengunjung malah membawa petaka bagi kedua candi itu. Beberapa waktu lalu dilaporkan, pondasi Candi Borobudur telah amblas sedalam 1,7 sentimeter. Penyebabnya, daya dukung lingkungan semakin rendah karena Candi Borobudur terlampau berat menahan beban (batu dan orang) di atasnya.

Apalagi Candi Borobudur berdiri di atas sebuah bukit yang dipangkas bagian atasnya sehingga keadaannya mudah labil. Belum lagi karena gejala alam, seperti gempa bumi, panas, angin, dan hujan. Faktor ini diyakini menambah keropos kondisi Candi Borobudur.

Derita serupa dialami Candi Prambanan. Candi itu mulai melapuk cukup serius. Ribuan blok batunya mengalami keausan akibat benturan atau gesekan dengan sol sepatu pengunjung, ditambah berbagai proses alami. Keausan terparah terjadi pada tangga candi. Sebanyak 1.406 blok batu mengalami keausan sebesar 0,1 hingga 7,6 sentimeter. Ratusan blok batu lainnya mengalami keretakan dan pengelupasan.

Keausan batu pada Candi Prambanan belum separah Candi Borobudur. Menurut penelitian tahun 1984, yakni setelah satu tahun selesainya purna pugar Candi Borobudur, keausan batu banyak terjadi pada lantai dan anak tangga. Besar keausan batu pada lantai 0,1 hingga 0,4 sentimeter. Sementara itu dari 801 batu pada anak tangga yang aus, 535 batu di antaranya mengalami keausan kurang dari 1 sentimeter. Sisanya, 266 batu, mengalami keausan lebih dari 1 sentimeter (Djulianto Susantio, Pengunjung dan Masalah Konservasi Candi Borobudur/M: Sebuah Penelitian Pandahuluan, 1985). Setahun saja tingkat kerusakannya sudah demikiar) besar. Setelah 20 tahun, tentu lebih parah.

Data lapangan lain yang diperoleh adalah jenis sampah terbanyak (rokok, kertas, sisa makanan), lama waktu kunjung (wisatawan nusantara: 21-40 menit, wisatawan mancanegara: 49-62 menit), kecepatan berjalan (wisatawan nusantara: 0,25-0,61 meter/detik, wisatawan mancanegara: 0,23-0,57 meter/detik), dan jenis alas kaki terbanyak (sepatu karet, sepatu kulit, sandal).


Komersial

Sejak tahun 1980 Candi Borobudur dan Candi Prambanan dikelola secara komersial oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur-Prambanan. Waktu itu pembangunan taman wisata (untuk menggantikan taman purbakala) pernah ditentang kalangan arkeolog. Menurut Prof. Dr. Soekmono, penyediaan sarana wisata di lokasi tersebut sungguh berlebihan. Rencana pengadaan kereta gantung, atraksi sinar laser, dan suara-suara musik merupakan gangguan yang serius. “Hura-hura bisa dicari di tempat lain, tetapi kekhusukan hanya ada di lingkungan candi," begitu kata Soekmono.

Namun H. Boediardjo, mantan Menteri Penerangan yang menjadi Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur-Prambanan, berdalih bahwa panwisata akan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat dan pendapatan devisa negara. Lagi pula dengan adanya berbagai fasilitas di taman wisata, seperti museum, kios cendera mata, restoran, pusat studi, pusat informasi, dan arena hiburan, maka para pengunjung akan terpencar. Dengan demikian pengunjung tidak akan terkonsentrasi pada candi.

Kenyataannya, para pengunjung merasa belum puas bila belum menaiki candi. Maka pada saat-saat tertentu pengunjung terakumulasi pada bagian tertinggi Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Akibatnya kerusakan batu, kekotoran lantai, dan corat-coret (termasuk gores-menggores dengan pisau dan alat tajam) sering terjadi pada kedua candi. Malah kepala area di Candi Borobudur pernah patah karena digoyang-goyang pengunjung usil.

Betapa kepentingan arkeologi lewat upaya konservasi sulit berpadu dengan kepentingan ekonomi lewat jalur pariwisata. Meskipun begitu tetap harus ada upaya untuk meminimalisasi segala kerusakan yang terjadi.


Spesifik

Candi Borobudur dan Candi Prambanan merupakan bangunan purbakala yang paling spesifik dibandingkan candi-candi lainnya. Sebenarnya sejak lama sudah ada upaya untuk menyelamatkan kedua candi, misalnya dengan cara membatasi jumlah pengunjung yang akan menaiki candi ini dimaksudkan untuk memperkecil kerusakan-kerusakan mekanis yang disebabkan oleh manusia.

Waktu itu disarankan agar para pengunjung dikelompokkan menjadi rombongan tidak lebih dari 20 orang. Setiap kelompok harus disertai dan diawasi oleh seorang petugas pemandu yang terlatih.

Namun pada masa kini membatasi jumlah pengunjung dianggap melanggar HAM. Masalahnya, pembendungan pengunjung akan menghambat perekonomian karena pariwisata merupakan sumber penghasilan masyarakat sekitar.

Upaya yang paling mungkin untuk mengurangi kerusakan batu adalah membuat alas kaki dari bahan yang lembut. Penggunaan alas kaki khusus seperti ini banyak dilakukan sejumlah negara maju.

Di Jepang, misalnya, untuk memasuki suatu bangunan kuno, para pengunjung harus melepas alas kaki, kemudian menggantinya dengan alas kaki yang disediakan. Di Jerman, untuk memasuki suatu kastil, para pengunjung harus melapisi alas kakinya dengan sandal khusus.

Di Indonesia baru beberapa museum swasta yang menerapkan peraturan demikian. Ini bisa terlaksana baik karena jumlah pengunjung museum tersebut relatif sedikit. Tentu perlu pemikiran matang mengingat jumlah pengunjung Candi Borobudur dan Candi Prambanan mencapai ribuan orang per hari. Upaya lain adalah menanamkan kesadaran bersejarah dan kedisiplinan kepada para pengunjung. Jika kedua hal sudah mengakar, tentu upaya pelestarian Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan berbagai kepurbakalaan lain menjadi mudah. Dengan demikian cucu-cicit kita nantinya tidak hanya mengetahui kepurbakalaan lewat catatan tertulis saja, melainkan lewat peninggalan-peninggalannya yang masih terawat baik.

Menurut penelitian UNESCO Juli 2003, Candi Borobudur harus dipugar lagi. Inilah salah satu dampak dari pariwisata yang tidak terencana dan terkontrol dengan baik.

Kita bukannya memperoleh devisa dari para wisatawan, tetapi justru kerusakan candi dan harus mengeluarkan biaya pemugaran yang ditaksir mencapai jutaan dolar. Tentunya ini merupakan pelajaran yang amat berharga dan mahal. (*)

Penulis adalah anggota lkatan Ahli Arkeologi Indonesia

(Sumber: Sinar Harapan, 3 Januari 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dictionary

Kontak Saya

NAMA:
EMAIL:
SUBJEK:
PESAN:
TULIS KODE INI: