Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Sabtu, 21 Maret 2009

"Sangkan Paraning Dumadi"

Views


Oleh: RP Soejono

DEMIKIANLAH persepsi Dr Daoed Joesoef sebagai seorang ilmuwan, budayawan, dan humanis terhadap perkembangan seluruh kehidupan di bumi ini: Asal-usul dan tujuan segala ciptaan, di mana manusia sebagai pusatnya berusaha menguasai seluruh kehidupan di dunia, tahap demi tahap menjadi sesuatu yang bisa memenuhi keinginannya untuk kepentingannya.

Daoed Joesoef kemudian memberikan pendapat-pendapatnya sebagai berikut: ilmu yang dapat menjelaskan bagaimana dunia ini di penuhi oleh manusia dengan segala aspek kemanusiaannya, how the world become human, adalah arkeologi atau ilmu purbakala. Kata arkeologi itu berasal dari kata Yunani arkhailogia yang mengandung arti ’ilmu tentang kekunoan’ (science of the ancients) yang kini dapat disamakan artinya sebagai ’sejarah kuno’ (ancient history). Perkembangan yang terutama mengandung makna ilmu tentang benda kuno ini terjadi pada abad ke-17 di Eropa. Kondisi arkeologi sebagai ilmu ini tidak /belum mengenal metode ilmiah arkeologi, seperti yang sudah kita terapkan pada waktu sekarang ini.

Ketika sekelompok arkeolog dan budayawan berkumpul pada pertengahan Januari 2004, untuk membahas "kebudayaan" dalam sebuah seminar tentang Kebudayaan, Makna dan Pengelolaan yang bertemakan Kesadaran Budaya Memperkuat Bangsa, Daoed Joesoef mengatakan, "Untuk apa para arkeolog berkumpul? Bukankah beberapa bulan yang lalu, secara spektakuler, telah pernah di gelar Kongres Kebudayaan?"


Asal-usul manusia

Ia kemudian menjelaskannya sebagai seseorang yang memandang manusia itu dalam cakupan yang dalam dan luas sebagai berikut: terlepas dari masalah kebudayaan yang memang menjadi semakin mengkhawatirkan, jadi terlalu serius untuk didiamkan begitu saja, dapat diduga bahwa para arkeolog adalah ilmuwan yang layak dan sangat diharapkan bisa membahas "kebudayaan" sekarang ini. Sungguh tidak pantas dan tidak bertanggung jawab bila mereka bersikap acuh dalam hal ini. Betapa tidak. kalau kita berbicara tentang "kebudayaan", membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan "budaya", yang adalah tak lain dari "sistem nilai", maka kita berbicara tentang "manusia", makhluk yang membuat "ada" nilai-nilai itu dan memberi "makna" pada nilai-nilai yang bersangkutan. Dan adalah arkeologi yang secara khusus telah berusaha keras mengutarakan "apa-siapa" manusia tersebut berdasarkan fakta.

Ya, manusia. Berkat penggalian dan temuan-temuan disiplin ilmiah arkeologi terungkap betapa pada suatu ketika, di masa yang lalu, makhluk yang satu ini telah membedakan dirinya dari makhluk-makhluk sejenis. Dia telah melepaskan diri dari ketergantungannya pada alam, lalu menjajahnya, mentransendennya, bahkan mengubahnya. Dia pula yang menciptakan hidup berpasangan, sistem keluarga dan masyarakat. Juga kekuasaan, cinta kasih, permusuhan, peperangan, perangkat hukum. Mengapa? Untuk apa? Dari mana datang semangat penemuannya, hasratnya pada kekuasaan, khususnya pada pengetahuan, inspirasinya tentang kebudayaan (sistem nilai). Ya, manusia? Bagaimana kita-kita ini menjadi manusia seperti adanya sekarang?"

Daoed Joesoef mengutarakan bahwa bumi di pandang manusia sebagai tempat ia lahir seraya berkembang dan kemudian bagaimana manusia, yang semula berpenampilan kasar dan berpostur mirip kera, akhirnya membudayakan bumi. Melalui pembudayaan tersebut, ia membuat planet ini tidak hanya sebagai satu kebetulan, tidak sekadar salah satu sempalan akibat adanya ledakan dahsyat dari apa yang disebut singularitas, tempat dan saat fisika serta matematika sama sekali tidak berlaku dan kini ia malah berusaha keras untuk menjejakkan kakinya di sempalan-sempalan lainnya.

Menurut Daoed Joesoef, "Tanpa budaya dan disiplin serta semangat ilmiah yang dikandung manusia, suatu masyarakat betapa pun perfeknya, biarpun memiliki kebebasan relatif, hanya merupakan sebuah rimba. Inilah sebabnya mengapa sebuah kreasi otentik atau penemuan kembali suatu karya tua kebudayaan, seperti Candi Borobudur, dalam dirinya merupakan sebuah anugerah untuk masa depan. Disiplin arkeologi memang tidak membimbing orang untuk mampu membuat butir padi/gandum menjadi sebesar biji nangka. Namun, keutuhan hidup manusia pasti tidak hanya memerlukan nasi/roti karena ternyata ada yang kurang. Disiplin arkeologi di samping dan dengan berbagai pengetahuan budaya serta visi spiritual berkat pembawaannya, dapat mengatakan betapa apa kekurangan itu dan sekaligus menunjukkan di mana bisa didapat pengisi kekurangan tersebut."

Sebagai suatu pencurahan dikatakan oleh Daoed Joesoef, "Seminar kebudayaan kali ini adalah avant tout, ekspresi dari suatu keraguan, bukan keraguan yang melemahkan, melainkan keraguan yang menggalakkan semangat yang kritis untuk bertanya. Yang akan dipertanyakan bukanlah diri pribadi kita, melainkan apa-apa yang selama ini telah kita perbuat dengan kebudayaan. Apakah perbuatan-perbuatan kita itu yang pasti telah menggunakan tenaga dan menguras energi punya makna, ya, punya makna? Apakah jerih payah kita itu memang melayani kemajuan dan kebaikan warga kita, dalam arti membudaya bangsa dan negara Indonesia, atau apakah selama ini kita bukan sekadar berpuas diri dengan melakukan tindakan hanya untuk bertindak, sekadar menggelinding mengikuti alur yang menggiring kita ke tekad untuk bergerak, untuk berlari maraton terus-menerus hingga berakhir di sebuah jurang nan dalam?"


Arkeologi Indonesia dalam ujian

Ketika negara-negara maju dewasa ini mengalami progres yang meningkat dalam berbagai bidang kehidupan mereka, Indonesia justru mengalami stagnasi dalam usaha meningkatkan progres itu dalam sklal yang mengkhawatirkan. Arkeologi adalah salah satu bentuk asetnya yang penting, yang meninggalkan jalur progres disebabkan ketidaktahuan atau kemengkalan (immaturity) pengetahuan tentang arti, makna, dan sejarah arkeologi, ditambah kekurangkepahaman tentang tugas dan fungsi arkeologi. Ada kecenderungan bahwa situasi kemengkalan pengetahuan ini umum di kalangan publik Indonesia, dan agaknya pula di kalangan para pejabat dari pengatur negara, bahkan pula di kalangan yang berpotensi sebagai ahli arkeologi.

Kata arkeologi (archaeology) sepertinya lebih mudah dipahami setelah diterjemahkan sebagai Ilmu Purbakala (Oudheldkunde) pada waktu menjelang Kemerdekaan RI. Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1913 membentuk sebuah lembaga bernama Oudheidkundige Diens yang kemudian pada masa RI disebut Dinas Purbakala. Tugasnya untuk mengatur dan melindungi benda- benda kuno (oudheden) di Indonesia. Perkembangan di bidang kepurbakalaan atau di bidang arkeologi berangsur meningkat secara jelas dalam aspek-aspek tenaga profesinya, sarana dan prasarana kerja serta aspek-aspek teori dan metodologi yang dengan luas mengikuti perkembangan yang berlangsung di bidang arkeologi secara global.

Perkembangan yang bersifat positif ini berlangsung sampai kira-kira lima tahun yang lalu ketika mulai diterapkan reformasi pemerintahan guna mengadakan perbaikan dan kemajuan kehidupan bangsa dan negara. Reformasi ini mengakibatkan terjadinya perubahan- perubahan dalam struktur organisasi kerja, meliputi tugas dan fungsi arkeologi sebagai ilmu pengetahuan yang lazim diterapkan di dunia internasional. Penggabungan struktur arkeologi dengan bidang pariwisata yang keduanya notabene berbeda tugas, fungsi, serta metode kerjanya menimbulkan kemerosotan prestasi dan gairah kerja dalam bidang arkeologi pada saat ini.

Arkeologi Indonesia dewasa ini berada dalam situasi tribulasi, yaitu berada dalam masa pertentangan dengan struktur yang tidak mengikuti pola kerja ilmiah arkeologi yang selama lebih dari satu abad diikuti dengan segala kemampuan untuk tetap dalam batas-batas persyaratan sebagai ilmu arkeologi yang berkembang secara global. Interupsi eksternal terjadi tanpa menghiraukan tata kerja dan prinsip-prinsip ilmiah dalam mengambangkan arkeologi ke arah positif ilmiah. Pola yang diikuti dan dikembangkan atas dasar pengalaman dan pertimbangan selama berabad-abad oleh para ahli purbakala masa sebelum dan sesudah kemerdekaan di Indonesia akan ditumbangkan sehingga tidak patut dapat berkembang sejajar lagi dengan syarat-syarat arkeologi yang berlaku secara global di negara-negara yang pantas mengembangkan arkeologi sebagai ilmu pengetahuan.

Arkeologi Indonesia kini berada di pinggir atau periferi kemunduran yang sulit diatasi di masa globalisasi dalam kompetisi dengan negara-negara yang mengembangkan ilmu arkeologi dengan penuh kesadaran dan taat pada prinsip-prinsip ilmiah. Kita semua sekarang berharap, khususnya para ahli arkeologi, agar kemajuan dan ketaatan ilmiah dalam pengembangan arkeologi di Indonesia dapat dihidupkan kembali. Hal itu terutama dalam masa globalisasi yang akan melanda negara kita dalam segala bidang yang memungkinkan untuk mengadakan persaingan/kompetisi.

Tanpa ikatan pola/struktur kerja arkeologi sesuai dengan tingkat perkembangan global, kita tidak akan dapat mempertahankan arkeologi sebagai aset nasional kita. Demikian besar dan luas aset nasional kita sekarang ini sehingga perlu dipikirkan suatu tempat penampungan yang dapat mencakup segala aspek kehidupan manusia masa dahulu sebagai landasan pengertian dan keinginan kita untuk membentuk masyarakat mandiri dan dinamis.

Arkeologi adalah sebagai salah satu komponen penegak kebudayaan bangsa dan harus menentukan langkah-langkah yang menguntungkan bagi kehidupan bangsa kita sekarang dan masa depan. Yang harus terus ditingkatkan adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) serta sarana dan prasarana kerja, penyempurnaan manajemen kerja lembaga, dan memiliki program serta visi yang positif sebagai anggota masyarakat global tanpa kehilangan jati diri dan arah dalam arus globalisasi yang melanda dunia dewasa ini.

RP Soejono
Guru Besar Arkeologi


(Kompas, Senin, 19 April 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dictionary

Kontak Saya

NAMA:
EMAIL:
SUBJEK:
PESAN:
TULIS KODE INI: