Views
Oleh: Bambang Budi Utomo
Berita tentang hilangnya dan pelelangan arca-arca dari Indonesia acap kali terdengar. Mengapa hal ini dapat terjadi dan bagaimana perlindungan terhadap benda-benda tinggalan budaya dari masa silam itu sepatutnya kita lestarikan?
Harian Kompas tanggal 1 dan 4 Oktober 2005 memberitakan tentang akan dilelangnya arca-arca logam asal Indonesia di Balai Lelang Christie’s, Amsterdam, pada 18 Oktober 2005. Seperti biasa, kehebohan biasa terjadi ketika pers sudah mulai memberitakan tentang rencana pelelangan. Itu karena pers rajin berburu berita baik langsung maupun melalui internet. Celakanya, para juragan yang berwenang, meskipun sudah mempunyai alamat e-mail, jarang atau bahkan tidak pernah membuka internet!
Berbicara mengenai mutasi sebuah benda apalagi benda tersebut berupa arca dari logam ”memang agak sulit karena benda tersebut sangat mudah pindah. Dalam keterangan tentang barang yang akan dilelang Christie’s, disebutkan bahwa arca tersebut berasal dari Kalimantan. Christie’s tentunya tidak sembarangan memberikan keterangan. Kalau betul dari Kalimantan, dapat dikatakan bahwa arca-arca tersebut dapat dibilang sangat langka.
Ada dua hal mengapa dikatakan sangat langka. Pertama, untuk pulau sebesar Kalimantan hingga saat ini jarang ditemukan tinggalan budaya masa lampau. Kedua, dari segi bahan bakunya dibuat dari emas dan perak. Khusus untuk arca logam yang dibuat dari perak, di Indonesia sangat jarang. Arca logam biasanya dibuat dari perunggu, atau perunggu yang dilapis emas.
Identifikasi
Sekilas, dari kehalusan tekstur dalam gambar diduga kuat arca tersebut asli. Namun, dari ciri-cirinya arca tersebut diperkirakan arca kuno dari Jawa Tengah.
Demikian pendapat Hariani Santiko seperti yang dikutip Kompas. Untuk identifikasi keaslian (kuno atau baru) dari sebuah arca agak sulit. Apalagi kalau hanya melihat dari gambar yang ukurannya 5 x 7 cm. Bagaimana bisa tahu dari tekstur kalau hanya melihat dari gambar yang ukurannya kecil. Sebuah arca logam berbeda dengan arca batu. Arca batu bisa bertekstur kasar atau halus tergantung dari jenis batunya, sedangkan arca logam dapat dikatakan tidak bertekstur.
Mungkin yang dimaksud tekstur adalah ikonoplastis, kehalusan atau kelenturan penggambaran dari sosok arca. Memang, dari 12 arca yang akan dilelang itu hanya arca Bodhisattwa Awalokiteswara yang fotonya tercantum dalam Kompas 1 Oktober yang secara ikonoplastis cukup baik. Dibandingkan dengan arca-arca logam dari Jawa dan Sumatera, secara umum dapat dikatakan arca tersebut bergaya seni Jawa Tengah atau dikenal juga dengan gaya Sailendra yang berkembang di Jawa dan Sumatera pada sekitar abad VIII-IX Masehi.
Tidak banyak ahli yang mempunyai pengetahuan tentang arca-arca dari luar Jawa. Sebagian besar arkeolog, baik yang lokal maupun asing (biasanya Belanda), pengetahuan mengenai arca hanya arca-arca dari Jawa. Karena itu, tidak mengherankan apabila arca-arca dari Jawa yang selalu menjadi tolok ukur. Seolah-olah di Jawa-lah berkembangnya segala aliran seni arca atau arsitektur bangunan.
Dari lingkaran cahaya (prabha) yang terdapat melingkar di kepala biasa ditemukan pada arca-arca dari Jawa. Karena itu, tidak mengherankan apabila arca Bodhisattwa Awalokiteswara yang akan dilelang itu dikatakan mungkin dari Jawa. Arca Bodhisattwa dengan ciri dan pertanggalan yang sama ditemukan juga di Palembang. Dilihat dari gaya secara keseluruhan, selain mempunyai prabha terlihat adanya persamaan antara arca Bodhisattwa Wajrapani yang berasal dari daerah Palembang dengan arca Bodhisattwa Wajrapani dari Candi Mendut, Jawa Tengah, dengan periodisasi abad VIII-IX Masehi. Didasarkan pada hal tersebut arca Bodhisattwa Wajrapani yang ditemukan di daerah Palembang dapat dikatakan berasal dari abad VIII-IX Masehi.
Secara keseluruhan, bentuk Bodhisattwa Awalokiteswara dari Kalimantan mirip dengan Bodhisattwa dari Palembang: bertangan empat, memakai mahkota dari pilinan rambut, dan berkain panjang hingga ke atas mata kaki. Mengenai pertanggalannya dapat diketahui dari pengamatan terhadap pakaian. Penggambaran Bodhisattwa ini mirip seperti arca-arca Bodhisattwa dari masa seni Sailendra yang dicirikan dari gaya pakaian. Arca Bodhisattwa dari Palembang ini dapat digolongkan pada masa abad VIII-IX Masehi.
Untuk identifikasi keaslian arca logam ini dapat dimungkinkan pada arca perunggu, dapat dilihat dari patina yang melapisi permukaannya. Patina adalah suatu lapisan tipis, keras, dan berwarna hitam/gelap yang terbentuk secara alami dalam kurun waktu yang lama karena benda tersebut telah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Lapisan ini berfungsi juga sebagai pelindung dari kerusakan.
Di dalam keterangan Lot pada salah satu arca dari Christie’s disebutkan tampak bekas patina hijau. Kalau berwarna hijau bukan patina, tetapi malachite (semacam penyakit pada logam perunggu). Malachite dapat dibuat dengan mudah, sedangkan patina tidak dapat dibuat. Dengan demikian, untuk amannya harus dilihat secara mikroskopis di laboratorium.
Hariani Santiko menyatakan bahwa arca-arca yang akan dilelang tersebut diduga berasal dari Jawa (Tengah). Dugaan itu bisa benar dan bisa pula tidak karena kalau berdasarkan gaya seni pada sebuah benda yang movable, memang bisa saja kalau dikatakan dari Jawa. Pada abad VIII-IX Masehi gaya seni yang berkembang di belahan barat Nusantara adalah gaya seni Sailendra. Gaya seni ini muncul dan mencapai puncak perkembangannya ketika Dinasti Sailendra berkuasa di Jawa pada sekitar abad VIII-IX Masehi. Kemunculannya di Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu disebabkan karena hubungan keluarga dan hubungan politik/ agama.
Berbeda dengan pendapat tersebut, saya lebih condong untuk mengatakan bahwa arca-arca tersebut memang berasal dari Kalimantan, khususnya dari Sambas (Kalimantan Barat). Pendapat saya didasarkan atas pernah ditemukannya sejumlah arca Buddha dari Desa Sabung Pelangi (Sambas) pada sekitar tahun 1940-an, dan kini menjadi koleksi The British Museum.
Berita dan ulasan mengenai arca-arca tersebut termuat dalam Journal Malayan Branch of the Royal Asiatic Society (JMBRAS) Vol 22 tahun 1949. Dengan melihat foto yang tercantum dalam www.christies.com, kemudian membandingkannya dengan foto-foto dalam JMBRAS Vol 22 tahun 1949, saya yakin bahwa arca-arca yang akan dilelang itu memang berasal dari Kalimantan, khususnya daerah Sambas (Kalimantan Barat). Ciri khusus tampak pada penggambaran lingkaran cahaya yang dua macam bentuknya. Satu berbentuk lidah api dan satu lagi berbentuk lingkaran cincin.
Buddha di Kalimantan
Keberadaan masyarakat pemeluk agama Buddha di Kalimantan dapat diketahui dari ditemukannya sebuah prasasti batu dari Batu Pait, Kalimantan Barat. Prasasti yang berukuran tinggi lebih dari 4 meter dan lebar 7 meter ini berisi tentang mantra-mantra Buddha yang dipahatkan dalam aksara Pallawa di antara relief 7 buah stupa.
Berdasarkan bentuk tulisannya, diduga prasasti ini berasal dari sekitar abad VI-VII Masehi. Prasasti ini membuktikan bahwa di wilayah Kalimantan Barat pada sekitar abad VI-VII telah tinggal kelompok masyarakat beragama Buddha.
Jauh di sebelah utara, di wilayah Kabupaten Sambas pada sekitar tahun 40-an ditemukan dua arca Buddha berdiri (dibuat dari emas dan perak), dua arca Buddha duduk dan empat arca Bodhisattwa Padmapani. Arca-arca ini kini menjadi koleksi The British Museum, London.
Seorang ahli arkeologi, Quaritch Wales, menempatkan arca-arca tersebut dari sekitar abad VIII-IX Masehi. Ukuran dari arca-arca tersebut bervariasi antara 6-20 cm dan sebuah berukuran 30 cm.
Keberadaan arca-arca ini membuktikan kepada kita bahwa pada masa lampau di Sambas telah ada kelompok masyarakat yang memeluk agama Buddha. Arca Bodhisattwa Padmapani mengindikasikan bahwa agama Buddha yang berkembang di Sambas adalah Buddha Mahayana. Agama ini mencapai puncak perkembangannya pada sekitar abad VII-IX Masehi di Sumatera dan Jawa.
Koleksi arca-arca Buddha dari Sambas di British Museum menunjukkan pada kita bahwa Sambas kaya akan tinggalan budaya masa lampau. Dengan adanya arca yang akan dilelang itu menunjukkan bahwa hingga saat ini dari Kalimantan Barat telah ditemukan 21 buah arca logam emas, perak, dan perunggu.
Meskipun demikian, hingga kini di museum-museum di Indonesia, bahkan Museum Nasional, tidak menyimpan tinggalan budaya dari Sambas. Akankah arca-arca tersebut tetap tinggal di luar negeri?
Bambang Budi Utomo,
Kerani Rendahan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional
Kerani Rendahan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional
(Sumber: Kompas, Rabu, 19 Oktober 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar